Seni
tradisional Banyumas terancam punah jika tidak adanya regenerasi pada kaum muda
seiring makin kuatnya budaya asing yang masuk. Sebenarnya seni tradisional
Banyumas sangatlah menarik, tapi anehnya kaum muda tidaklah tertarik unuk
mempelajarinya dan ini harus dicari penyebabnya. Apa dari generasi tua yang
enggan memperkenalkan seni tradisional kepada kaum muda, atau dari kaum muda
itu sendiri yang enggan karena sudah tertarik pada seni budaya asing yang lebih
menarik, atau mungkin juga minimnya anggaran dari pemerintah sehingga seni
tradisional menjadi tidak terurus.
Ragam Kesenian Tradisional Kabupaten
Banyumas
1.
Aksimudha
Aksimudha adalah kesenian bernafas islami yang tersaji
dalam bentuk atraksi pencak silat yang dipadu dengan tari-tarian dengan iringan
terbang/ genjring. Pertunjukkan aksimudha dilakukan oleh delapan penari pria.
Aksimudha pernah berkembang di seluruh wilayah Kabupaten Banyumas dan saat ini
masih dapat ditemukan di wilayah Kecamatan Wangon.
2.
Angguk
Angguk adalah kesenian bernafas islami yang tersaji dalam
bentuk tari-tarian dengan iringan terbang/genjring. Pertunjukkan angguk
dilakukan oleh delapan orang pria.
3.
Aplang atau Dhaeng
Aplang atau dhaeng adalah kesenian bernafas islami serupa
dengan angguk, pemainnya terdiri atas delapan penari wanita. Aplang masih
berkembang di seluruh wilayah Kabupaten Banyumas khususnya di wilayah Kecamatan
Somagede.
4.
Baritan
Baritan adalah upacara kesuburan dengan menggunakan
kesenian sebagai media utamanya. Hingga saat ini ada dua macam baritan yaitu
baritan yang digunakan untuk tujuan memanggil hujan dan baritan untuk
keselamatan ternak. Untuk memangil hujan biasanya digunakan berbagai macam
kesenian yang ada seperti Iengger, buncis, atau ebeg. Adapun baritan untuk
keselamatan ternak biasanya menggunakan Iengger sebagai media upacara. Baritan
biasanya dilaksanakan pada mangsa Kapat (sekitar bulan September). Baritan
untuk memanggil hujan berkembang di seluruh wilayah Kabupaten Banyumas,
sedangkan baritan masih berkembang di wilayah Kecamatan Ajibarang.
5.
Begalan
Begalan adalah seni tutur tradisional yang digunakan sebagai
sarana upacara pernikahan. Begalan menggambarkan peristiwa perampokan terhadap
barang bawaan dari besan (pihak mempelai pria) oleh seorang begal (perampok).
Dalam falsafah orang Banyumas, yang dibegal (dirampok) bukanlah harta benda,
melainkan bajang sawane kaki penganten nini penganten (segala macam kendala
yang mungkin terjadi dalam kehidupan berumah tangga pada mempelai berdua).
Begalan dilakukan oleh dua orang pria dewasa yang merupakan
sedulur pancer lanang (saudara garis laki-laki) dari pihak mempelai pria. Kedua
pemain begalan menari di depan kedua mempelai dengan membawa properti yang
disebut brenong kepang. Properti tersebut terdiri atas alat-alat dapur yang
diberi makna simbolis yang berisi falsafah Jawa dan berguna bagi kedua mempelai
yang akan menempuh hidup baru mengarungi kehidupan berumah tangga. Dalam
pementasannya, kedua pemain begalan menari dengan diiringi gendhing-gendhing
Banyumasan yang disajikan dengan menggunakan perangkat gamelan. Hingga saat ini
begalan masih tumbuh subur di seluruh wilayah Kabupaten Banyumas.
6.
Bongkel
Bongkel adalah musik tradisional mirip angklung, hanya
terdiri atas satu buah instrumen dengan empat buah bilah berlaras slendro
dengan nada 2 (ro), 3 (1u), 5 (ma) dan 6 (nem). Dalam penyajiannya, bongkel
memiliki gendhing-gendhing khusus. Bongkel hanya tumbuh dan berkembang di Desa
Gerduren, Kecamatan Purwojati.
7.
Buncis
Buncis adalah perpaduan antara musik dan tari yang
dibawakan oleh delapan penari pria. Dalam pertunjukkannya, pemain buncis menari
sambil bermain musik dan vokal dengan membawa alat musik angklung. Buncis
merupakan kesenian khas desa Tanggeran, kecamatan Somagede, kabupaten Banyumas.
8.
Calung
Calung adalah musik tradisional dengan perangkat mirip
gamelan terbuat dari bambu wulung. Musik calung hidup di komunitas masyarakat
pedesaan di wilayah sebaran budaya Banyumas. Menurut masyarakat setempat, kata
"calung" merupakan jarwo dhosok (dua kata yang digabung menjadi kata
bentukan baru) yang berarti carang pring wulung (pucuk bambu wulung) atau
dicacah melung-melung (dipukul bersuaranyaring).
Spesifikasi musik calung adalah bentuk musik minimal,
yaitu dengan perangkat yang sederhana (minimal), namun mampu menghasilkan
aransemen musikal yang lengkap. Perangkat musik calung teridiri atas gambang
barung, gambang penerus, dhendhem, kenong, gong dan kendhang. Perangkat musik
ini berlaras slendro dengan nada-nada I (ji), 2 (ro), 3 (lu), 5 (ma) dan 6
(nem).
Dalam penyajiannya, calung menyajikan gendhing-gendhing
gaya Banyumas, Surakarta, Yogyakarta, Sunda, dan lagu-lagu pop yang diaransir
ulang. Calung tumbuh subur di seluruh wilayah Kabupaten Banyumas.
9.
Cowongan
Cowongan adalah upacara minta hujan dengan menggunakan
properti berupa siwur atau irus yang dihias menyerupai seorang putri. Pelaku
cowongan terdiri atas wanita yang tengah dalam keadaan suci (tidak sedang haid,
nifas, atau habis melakukan hubungan seksual). Dengan menyanyikan
tembang-tembang tertentu yang sesungguhnya merupakan doa-doa itu. Cowongan
dilaksanakan hanya pada saat terjadi kemarau panjang. Biasanya ritual ini
dilaksanakan mulai pada akhir masa kapat (hitungan masa dalam kalender Jawa)
atau sekitar bulan September. Pelaksanaannya pada tiap malam jumat dimulai pada
malam jumat kliwon. Dalam tradisi masyarakat Banyumas, cowongan dilakukan dalam
hitungan ganjil misalnya I kali, 3 kali, 5 kali atau 7 kali. Apabila sekali
dilaksanakan cowongan belum turun hujan maka dilaksanakan 3 kali. Jika
dilaksanakan 3 kali belum turun hujan maka dilaksanakan sebanyak 5 kali
demikian seterusnya hingga turun hujan. Cowongan hingga saat ini masih dapat
dijumpai di desa Plana, Kecamatan Somagede.
10. Ebeg
Di Banyumas kesenian kuda lumping lebih dikenal dengan
sebutan "Ebeg". Tarian ebeg ini menggunakan kuda-kudaan yang terbuat
dari anyaman bambu yang diiringi dengan alat musik gamelan dan dipimpin oleh
seorang "Penimbul" atau dalang ebeg. Pada puncak aktifitasnya para
penari akan kesurupan sambil makan bunga, pecahan kaca, dan biji padi sambil
dicambuk oleh sang Penimbul. Dan para penari akan sadar kembali setelah dibacakan
mantra oleh Penimbul atau dalang ebeg tadi.
11. Gumbeng
Gumbeng adalah permainan rakyat yang terdiri atas potongan
ruas bambu yang dilaras dengan nada-nada tertentu, diletakkan di atas kaki yang
sengaja di julurkan ke depan dalam posisi duduk. Gumbeng masih berkembang di
seluruh wilayah Kabupaten Banyumas.
12. Kaster
Kaster adalah musik tradisional dengan alat musik berupa
siter, gong bumbung dan kendhang kotak sabun (terbuat dart kotak kayu sebagai
resonator dengan sumber bunyi berupa tali !caret yang diikatkan di kedua sisi
kotak). Dalam pertunjukannya disajikan gendhing-gendhing gaya Surakarta
Yogyakarta dan gaya Banyumas. Kaster masih berkembang di kecamatan Purwojati.
13. Ujungan
Ritual tradisional minta hujan dengan cara adu
manusia. Ujungan merupakan adu manusia dengan properti berupa sebatang rotan.
Pelaku ujungan adalah laki-laki dewasa yang memiliki kekuatan untuk menahan
benturan pukulan lawan. Sebelum beradu pukul, pemain ujungan menari-nari dengan
iringan tepuk dan sorak-sorai penonton. Ritual ini hanya dilaksanakan pada saat
terjadi kemarau panjang. Biasanya ujungan dilaksanakan pada akhir mangsa kapat
(pranata mangsa Jawa) atau sekitar bulan September. Dalam tradisi masyarakat
Banyumas, ujungan dilakukan dalam hitungan ganjil, misalnya I kali, 3 kali, 5
kali atau 7 kali.
Apabila sekali dilaksanakan ujungan belum turun hujan, maka
dilaksanakan 3 kali. Jika dilaksanakan 3 kali belum turun hujan maka
dilaksanakan sebanyak 5 kali. Demikian seterusnya hingga turun hujan.
Hinggasaat ini ujungan masih berkembang di kecamatan Somagede.
14. Wayang
Kulit Gagrag Banyumasan
Wayang kulit gagrag Banyumasan adalah jenis pertunjukkan
wayang kulit yang bernafas Banyumas. Lakon-lakon yang disajikan dalam
pementasan tidak berbeda dengan wayang kulit purwo, yaitu bersumber dari kitab
Mahabarata dan Ramayana. Spesifikasi wayang kulit gagrag Banyumasan adalah
terletak pada tehnik pembawaannya yang sangat dipengaruhi oleh latar belakang
budaya masyarakat setempat yang memiliki pola kehidupan pola tradisional
agraris. Spesifikasi tersebut dapat dilihat pada berbagai sisi seperti sulukan,
tokoh-tokoh tertentu yang merupakan lokal genius lokal Banyumasan, sanggit
cerita, iringan dan lain-lain. Wayang kulit gagrag Banyumasan memiliki dua
versi yang berbeda, yaitu gagrag kidul gunung dan gaggrag lor gunung. Wayang
kulit gagrag lor gunung adalah wayang kulit gagrag Banyumasan yang berkembang
di sebelah selatan pegunungan kendeng. Adapun gagrag lorgunung adalah wayang
kulit gagrag Banyumasan yang berkembang di sebelah Utara pegunungan kendeng.
Wayang kulit gagrag Banyumasan masih tumbuh subur di seluruh wilayah kabupaten
Banyumas.
Mari kita lestarikan kesenian
tradisional Banyumas dengan cara mengenalkan dan mengajarkannya kepada kaum
muda. Keberadaan seni tradisional akan punah jika tidak adanya regenerasi
terhadap anak cucu kita, jangan sampai kita ribut membela seni tradisional kita saat kesenian
tradisional kita diambil oleh negara lain.
Sumber : budaya-indonesia-sekarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar